Palu, gradasigo - "Guru Tua adalah seorang pendidik sejati. Semangatnya dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam di kawasan timur Indonesia patut menjadi teladan." Demikian ungkapan tulus Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, tentang sosok kharismatik pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Bagi Anwar Hafid, Guru Tua bukan hanya seorang ulama besar, melainkan juga seorang pelopor pendidikan yang telah meletakkan fondasi kokoh bagi kemajuan generasi muda di Sulawesi Tengah dan kawasan timur Indonesia.
Anwar Hafid mengajak seluruh masyarakat untuk bersatu padu melanjutkan tongkat estafet perjuangan yang telah dirintis oleh Guru Tua di bidang pendidikan. Baginya, warisan Guru Tua adalah amanah yang harus dijaga dan dikembangkan demi terwujudnya masyarakat Sulawesi Tengah yang cerdas, berakhlak mulia, dan berdaya saing.
Guru Tua: Ulama dan Pendidik yang Menginspirasi
Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, yang lebih dikenal dengan sebutan Guru Tua (1892-1969), adalah tokoh pejuang dari kalangan sadah Ba'Alwi yang sangat berjasa dalam bidang pendidikan agama Islam di Provinsi Sulawesi Tengah.
Sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu. Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia bagikan kepada orang lain.
Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat sebagai sumbangsih nyata Guru Tua kepada agama islam.
Guru Tua merupakan sosok ulama sekaligus pendidik yang tak kenal lelah dalam menyebarkan syiar Islam ke berbagai penjuru negeri. Mulai dari Pulau Jawa, Gorontalo, Sulawesi Utara, Ternate, hingga Maluku Utara. Guru Tua selalu hadir membawa pencerahan dan semangat perubahan. Hingga akhirnya, beliau menetap di Sulawesi Tengah, tempatnya mendirikan pusat pendidikan Islam yang diberi nama Alkhairaat.
Dalam masa perjuangan dakwahnya, Guru Tua membangun 400 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bagian timur, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua, yang kini telah mencapai lebih dari 1.550 madrasah.
Alkhairaat, yang didirikan di Palu, Sulawesi Tengah, ketika Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri berusia 41 tahun, telah menjadi inspirasi bagi terbentuknya berbagai jenis dan tingkatan sekolah di Sulawesi Tengah dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia.
Pada tahun 2014, sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur Indonesia, nama Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri diabadikan sebagai nama baru bandara Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah, yang sebelumnya bernama Bandara Mutiara.
Meneladani Semangat Guru Tua
Sebagai seorang pemimpin daerah, Anwar Hafid sangat mengagumi sosok Guru Tua. Baginya, Guru Tua adalah contoh nyata seorang pemimpin yang berdedikasi, visioner, dan berpihak kepada rakyat.
Semangat Guru Tua dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam menjadi inspirasi bagi Anwar Hafid dalam menjalankan roda pemerintahan di Sulawesi Tengah.
"Guru Tua telah memberikan teladan yang luar biasa bagi kita semua. Beliau mengajarkan kita tentang pentingnya pendidikan, keikhlasan, dan pengabdian kepada masyarakat," ujar Anwar Hafid.
Anwar Hafid terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Sulawesi Tengah dengan berbagai program dan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Ia juga mendorong pelestarian dan pengembangan kebudayaan Islam sebagai bagian dari upaya memperkuat identitas daerah dan membangun karakter bangsa.
Perjalanan Hidup Guru Tua: Dari Hadramaut ke Sulawesi Tengah
Lahir di kota Taris, Hadramaut, pada tahun 1892, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius dan berilmu. Ayahnya, Habib Salim, adalah seorang ilmuwan dan tokoh agama yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu.
Sejak kecil, Habib Idrus telah menunjukkan kecerdasan dan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Pada usia 12 tahun, ia mampu menghafal Al-Qur'an dan menguasai berbagai ilmu agama dan bahasa. Pada usia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya.
Pada tahun 1909, Habib Idrus bersama sang ayah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan.
Selama itu, Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan Auliya' yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do'a serta ijazah dari mereka.
Pada tahun 1916, Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya.
Namun, karena sikapnya yang kritis terhadap imperialisme Inggris, Habib Idrus memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan memilih jalan perjuangan untuk membebaskan negaranya dari penjajahan.
Pada tahun 1922, Habib Idrus hijrah ke Indonesia. Awalnya, ia menetap di Pekalongan dan menikah dengan Syarifah Aminah binti Thalib Al-Jufri.
Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu' dan Syarifah Nikmah. Kemudian, Habib Idrus pindah ke Solo dan mendirikan Madrasah Arrabithah Alawiyah.
Pada tahun 1926, Habib Idrus pindah ke Jombang dan menjalin persahabatan dengan K.H. Hasjim Asy'ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian, beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah.
Pada tahun 1930, Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani.
Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik. Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam.
Di Palu, Habib Idrus mendirikan Madrasah Alkhairaat yang menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh di kawasan timur Indonesia.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1969, Guru Tua telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan pendidikan dan kebudayaan Islam di Indonesia. Warisan beliau terus hidup dan menginspirasi generasi muda untuk terus belajar, berkarya, dan mengabdi kepada masyarakat.
Meneruskan Warisan Guru Tua
Anwar Hafid berharap agar semangat dan perjuangan Guru Tua dapat terus dilanjutkan oleh generasi muda Sulawesi Tengah. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun daerah dengan berlandaskan pada nilai-nilai agama dan budaya yang luhur.
"Mari kita jadikan Guru Tua sebagai teladan dalam hidup kita. Mari kita terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, melestarikan kebudayaan, dan membangun masyarakat Sulawesi Tengah yang lebih baik," pungkas Anwar Hafid dengan penuh semangat.
(Sumber Wikipedia, dan dilansir dari berbagai Media)