Bali, gradasigo — Pulau Bali hari ini, Rabu (23/4/2025), dipenuhi dengan nuansa spiritual dan semarak perayaan. Umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Galungan, salah satu hari suci terpenting dalam kalender mereka.
Perayaan ini jatuh setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Rabu Kliwon dalam siklus wuku Dungulan pada kalender Bali atau kalender Pawukon. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Hari Raya Galungan mengandung simbol dan nilai spiritual yang sangat mendalam, menandai momen sakral kemenangan kebaikan.
Inti makna dari Hari Raya Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma (kebenaran, kebaikan, keadilan) atas Adharma (kejahatan, keburukan, ketidakadilan). Konsep fundamental ini menjadi landasan filosofis dan spiritual di balik seluruh rangkaian perayaan. Kemenangan Dharma atas Adharma dalam konteks Galungan berakar kuat dari mitologi kuno yang diwariskan secara turun-temurun.
Cerita mitologi yang mendasari perayaan ini mengisahkan tentang Raja Mayadenawa. Dia adalah seorang raja yang memiliki kesaktian luar biasa, namun sayangnya bersifat angkuh dan adharma.
Mayadenawa menolak untuk menyembah dewa-dewa dan sebaliknya, ia justru memaksakan kehendaknya agar seluruh rakyatnya hanya menyembah dirinya. Keangkuhannya yang melampaui batas ini memicu murka para dewa.
Dalam situasi yang penuh penindasan tersebut, seorang pemuka agama yang bijaksana bernama Mpu Sangkul Putih melakukan tapa, brata, semadi (meditasi) untuk memohon pertolongan dan petunjuk dari Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para dewa.
Doanya kemudian dijawab, dan ia dibantu oleh Dewa Indra, yang dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa pengendali cuaca dan pemimpin para dewa di Kahyangan.
Terjadilah pertempuran sengit antara kekuatan Dharma yang dipimpin Dewa Indra dan Mpu Sangkul Putih melawan kekuatan Adharma di bawah kekuasaan Raja Mayadenawa. Pada akhirnya, dalam pertempuran heroik tersebut, Mayadenawa berhasil dikalahkan.
Kemenangan kekuatan kebenaran inilah yang kemudian diabadikan dan diperingati hingga kini sebagai Hari Raya Galungan, simbol abadi kejayaan Dharma atas Adharma.
Menurut naskah kuno Purana Bali Dwipa, sebuah catatan sejarah Bali, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada tahun Saka 804 atau sekitar tahun 882 Masehi.
Meskipun dalam perjalanannya tradisi ini sempat terhenti atau mengalami pasang surut, kini perayaan Galungan kembali dirayakan secara rutin dan menjadi salah satu pilar penting dalam praktik keagamaan umat Hindu di Bali dari generasi ke generasi.
Rangkaian Panjang Upacara Menuju Galungan dan Kuningan
Perayaan Galungan bukanlah sebuah peristiwa yang hanya berlangsung dalam satu hari tunggal. Sebaliknya, Galungan merupakan puncak dari serangkaian upacara keagamaan yang panjang dan penuh makna spiritual, yang dimulai jauh sebelum hari H dan ditutup dengan Hari Raya Kuningan sepuluh hari setelah Galungan.
Rangkaian upacara ini mencerminkan proses persiapan lahir dan batin, penyucian diri, serta penghormatan kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam rangkaian Hari Raya Galungan, sebagaimana disebutkan dalam kalender dan tradisi Bali:
- Tumpek Wariga: Dilaksanakan 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Pada hari ini, umat Hindu melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Sangkara sebagai manifestasi Tuhan yang berstana pada tumbuh-tumbuhan. Upacara ini sebagai bentuk rasa syukur atas karunia tumbuh-tumbuhan dan memohon keselamatan agar hasil pertanian melimpah. Pohon dan tanaman tertentu seperti kelapa, pisang, dan tebu diberi persembahan.
- Sugihan Jawa dan Sugihan Bali: Dua hari berturut-turut menjelang Galungan. Sugihan Jawa (enam hari sebelum Galungan) dilaksanakan untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan diri sendiri dari segala kekotoran. Sugihan Bali (lima hari sebelum Galungan) adalah penyucian Bhuana Alit (diri pribadi) secara rohani dengan membersihkan segala kotoran batin.
- Hari Penyekeban, Penyajan, dan Penampahan: Tiga hari terakhir yang sangat krusial menjelang Hari Raya Galungan. Penyekeban (tiga hari sebelum Galungan) adalah hari memendam (nyekeb) pisang sebagai simbol pematangan diri. Penyajan (dua hari sebelum Galungan) adalah hari membuat jajanan atau kue-kue khas Bali untuk persembahan dan konsumsi, yang juga simbol pemantapan niat. Penampahan (satu hari sebelum Galungan) adalah hari menyembelih hewan seperti babi atau ayam untuk persiapan logistik perayaan dan upacara, serta simbol penaklukkan sifat-sifat kebinatangan dalam diri.
- Hari Raya Galungan: Ini adalah hari puncak perayaan kemenangan Dharma. Umat Hindu melakukan persembahyangan di pura keluarga, pura desa, dan pura-pura umum lainnya. Mereka mengenakan pakaian adat terbaik, membawa persembahan (banten), dan saling mengunjungi keluarga.
- Umanis Galungan, Pemaridan Guru, dan Ulihan: Hari-hari setelah Galungan. Umanis Galungan (sehari setelah Galungan) adalah hari silaturahmi dan mengunjungi keluarga, serta ngelawang (tradisi anak-anak menarikan Barong Bangkung dari rumah ke rumah). Pemaridan Guru (dua hari setelah Galungan) adalah hari nyejer, meletakkan sesajen atau persembahan. Ulihan (tiga hari setelah Galungan) adalah hari di mana roh leluhur dipercaya kembali ke alamnya.
- Pemacekan Agung: Biasanya jatuh beberapa hari sebelum Kuningan, terkait dengan upacara dan persembahyangan lanjutan.
- Hari Kuningan: Dilaksanakan 10 hari setelah Galungan, menandai penutupan seluruh rangkaian perayaan kemenangan Dharma. Kuningan juga memiliki upacaranya sendiri, di mana persembahyangan dilakukan pada pagi hari hingga siang.
Setiap tahapan dalam rangkaian Galungan ini memiliki makna spiritualnya tersendiri, membentuk sebuah siklus persiapan, pembersihan, perayaan kemenangan, dan kembali ke keseimbangan.
Penjor: Simbol Kesejahteraan dan Syukur yang Memukau
Salah satu ciri khas visual yang paling mencolok dan paling mudah dikenali selama Hari Raya Galungan di Bali adalah kehadiran penjor. Penjor adalah tiang bambu tinggi yang dipasang di depan setiap rumah, melengkung indah di bagian ujungnya ke arah jalan.
Penjor ini tidak hanya sekadar tiang bambu biasa, tetapi dihias dengan sangat artistik menggunakan berbagai elemen. Bagian ujung yang melengkung biasanya dihias dengan janur (daun kelapa muda) yang dibentuk menjadi berbagai anyaman indah (sampian).
Sepanjang tiang bambu dihias dengan kain berwarna kuning atau putih (warna suci dalam Hindu Bali), serta digantungi berbagai hasil bumi seperti tandan pisang, ikatan padi, umbi-umbian, serta kue-kue atau jajanan tradisional. Hiasan-hiasan ini melambangkan kemakmuran dan kesuburan.
Saat perayaan Galungan, penjor-penjor ini berjejer di sepanjang jalan-jalan utama, jalan lingkungan, hingga di depan setiap rumah di desa-desa. Pemandangan deretan penjor yang melengkung dengan hiasan yang bergerak ditiup angin ini menciptakan suasana yang sangat magis, indah, dan memukau, menarik perhatian setiap orang yang melihatnya, baik warga lokal maupun wisatawan.
Secara simbolik, penjor memiliki makna yang kaya. Penjor adalah lambang Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang dianggap sangat suci dan dipercaya sebagai linggih atau tempat tinggal para dewa. Puncak penjor yang melengkung ke bawah melambangkan kemakmuran yang melimpah dari gunung ke dataran rendah.
Selain itu, penjor juga merepresentasikan kesejahteraan yang diperoleh umat serta wujud rasa syukur yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas segala berkat dan karunia yang telah dilimpahkan.
Dalam tradisi Bali, penjor dibedakan menjadi dua jenis utama berdasarkan fungsi dan maknanya:
- Penjor Upacara: Digunakan khusus untuk keperluan keagamaan dan upacara besar seperti Hari Raya Galungan, Kuningan, atau odalan (peringatan hari jadi pura). Penjor jenis ini dibuat dengan lengkap dan benar secara sakral, termasuk penambahan sanggah penjor (tempat persembahan kecil di dasar penjor) dan berbagai perlengkapan suci lainnya (banten) yang memiliki makna spiritual mendalam sebagai persembahan kepada Tuhan dan manifestasinya.
- Penjor Pepenjoran: Dipasang sebagai elemen dekorasi semata dalam acara-acara non-keagamaan, seperti festival budaya, penyambutan tamu penting, atau perayaan lainnya yang bersifat umum. Penjor jenis ini dibuat dengan hiasan yang lebih bebas dan artistik tanpa terikat pada aturan dan muatan spiritual Penjor Upacara.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti di Jawa, penjor juga dikenal, penggunaannya sangat berbeda dengan di Bali.
Di Jawa, penjor kerap kali digunakan sebagai penanda lokasi acara, seperti penunjuk arah menuju tempat acara pernikahan atau perayaan lainnya. Di sana, penjor lebih berfungsi sebagai penunjuk jalan atau elemen dekoratif semata, tanpa memiliki kedalaman makna spiritual dan fungsi upacara sakral seperti Penjor Upacara di Bali.
Bagi banyak wisatawan yang mengunjungi Bali selama periode Galungan, penjor menjadi salah satu daya tarik visual dan budaya yang paling unik. Kehadiran ribuan penjor di seluruh penjuru pulau menciptakan atmosfer religius dan artistik yang khas Bali, memberikan pengalaman visual yang berbeda.
Tak jarang, wisatawan memanfaatkan momen ini untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan dan mencoba mempelajari lebih dalam tentang makna-makna di balik simbol-simbol budaya Bali yang kaya, termasuk penjor.
Namun, bagi masyarakat Hindu Bali, penjor bukanlah sekadar objek wisata atau hiasan jalan biasa. Penjor adalah wujud nyata dari pengastawa, yaitu bentuk penghormatan, bakti, dan persembahan yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, sebagai ungkapan rasa syukur atas kemakmuran yang dilimpahkan.
Dalam proses pembuatannya pun, unsur spiritual dan aturan tradisi menjadi perhatian utama, sehingga setiap penjor yang ditegakkan tidak hanya indah dipandang secara fisik, tetapi juga sarat makna, doa, dan nilai spiritual yang mendalam.
Perayaan Hari Raya Galungan di Bali adalah perpaduan unik antara mitologi, sejarah, ritual keagamaan yang sakral, dan ekspresi budaya yang memukau.
Ini adalah waktu bagi umat Hindu untuk merayakan kemenangan kebaikan dalam diri mereka dan di alam semesta, mempererat tali silaturahmi keluarga dan komunitas, serta memanjatkan doa dan syukur kehadapan Sang Pencipta, dengan penjor berdiri tegak sebagai simbol spiritual yang megah di setiap sudut pulau.