Semarang, gradasigo — Merasa aspirasi mereka terkait pengelolaan kawasan Candi Borobudur selama ini kurang mendapatkan perhatian, Forum Masyarakat Borobudur Bangkit (FMBB) menggelar audiensi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada Rabu (16/4/2025).
Dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor Gubernur Jawa Tengah tersebut, FMBB menyampaikan tujuh tuntutan utama yang mencakup berbagai aspek, mulai dari pembukaan kembali akses pintu masuk candi hingga mendesak adanya perlindungan yang lebih baik bagi para pedagang kecil di sekitar kawasan wisata.
Audiensi ini merupakan langkah lanjutan dari serangkaian aksi protes dan upaya dialog yang telah dilakukan oleh masyarakat Borobudur sebelumnya, namun dinilai belum membuahkan hasil yang signifikan.
FMBB, yang merupakan wadah bagi berbagai elemen masyarakat di sekitar Borobudur, termasuk masyarakat adat, pelaku pariwisata, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta pedagang lokal, berharap agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dapat turun tangan secara langsung dalam menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan yang timbul akibat pengelolaan kawasan Borobudur saat ini.
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian FMBB adalah terkait dengan relokasi para pedagang ke Kampung Seni Borobudur (KSB). Mereka menilai bahwa proses relokasi ini telah merugikan banyak warga dan tidak sesuai dengan harapan awal.
“Kami datang ke Pemerintah Provinsi ini karena dulu ada kesepakatan bersama antara Pemprov, Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, dan PT Taman Wisata Candi (TWC). Kami berharap provinsi turut mengawal bagaimana implementasi KSB di lapangan, karena kami merasa banyak hal yang tidak sesuai,” ujar Ketua FMBB, Puguh Triwarsono, usai audiensi.
Menurut Puguh, berbagai pertemuan dan audiensi yang telah dilakukan sebelumnya dengan pihak-pihak terkait belum memberikan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Borobudur. Banyak warga yang kini terjerat utang atau bahkan terpaksa menjual aset pribadi mereka demi mempertahankan kelangsungan hidup setelah direlokasi.
“Selama ini respons yang kami terima hanya sebatas, ‘nanti kami koordinasikan’, ‘kami akan melakukan evaluasi’. Padahal, ini sudah berlangsung sejak tahun lalu. Pertemuan bukan hanya sekali atau dua kali, tapi sudah berkali-kali kami lakukan. Ini bukan hanya soal pariwisata semata, tapi sudah menyangkut perut dan mata pencaharian masyarakat,” tegas Puguh, menunjukkan frustrasi atas lambatnya respons dan kurang konkretnya solusi yang ditawarkan selama ini.
Puguh juga menyoroti kebijakan pemindahan pedagang dari zona 2 kawasan Borobudur ke Pasar KSB yang dinilai telah berdampak buruk terhadap pendapatan warga. Bahkan, relokasi ini juga disebut menimbulkan konflik sosial di antara para pedagang sendiri akibat persaingan yang semakin ketat di lokasi baru.
“Saat ini, salah satu imbas dari kebijakan pengelolaan kawasan Borobudur yang ada adalah penurunan pendapatan pelaku pariwisata hingga mencapai 83 persen. Data ini berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Magelang,” jelas Puguh, mengutip data yang menunjukkan dampak signifikan dari kebijakan yang ada terhadap perekonomian lokal.
Lebih lanjut, Puguh memaparkan bahwa sebelum adanya relokasi, pendapatan harian para pedagang di sekitar Borobudur berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000. Namun, setelah direlokasi ke Pasar KSB, angka tersebut anjlok drastis menjadi hanya sekitar Rp 4.000 hingga Rp 7.000 per hari.
Penurunan pendapatan yang sangat signifikan ini tentu saja menimbulkan kesulitan ekonomi yang besar bagi para pedagang dan keluarga mereka.
Selain masalah relokasi pedagang, FMBB juga menyampaikan kritik terhadap pembangunan resort dan restoran mewah di kawasan Borobudur yang dianggap tidak sesuai dengan semangat pelestarian kawasan cagar budaya dan justru memberatkan pelaku usaha kecil.
“Setelah ribuan pedagang kecil dipindahkan ke Kampung Seni Kujon, justru dibangun usaha besar yang menjual makanan, minuman, dan souvenir, yang notabene merupakan produk yang juga dijual oleh UMKM dan pedagang kecil di zona 2 sebelumnya. Ini adalah sebuah paradoks kebijakan yang seolah-olah menyiasati kebijakan bersama yang sudah dibuat,” tambah Puguh, menyoroti adanya ketidakadilan dalam implementasi kebijakan.
Selain itu, FMBB juga mengeluhkan penutupan akses pintu-pintu masuk tertentu ke Candi Borobudur dan pemusatan jalur wisata melalui Kampung Seni Kujon. Kebijakan ini dinilai mempersulit mobilitas warga lokal dan juga wisatawan yang ingin berkunjung ke Borobudur.
“Pengunjung saat ini seolah-olah dipaksa untuk naik shuttle yang dimiliki oleh investor dari luar daerah. Sedangkan efek dari kebijakan ini adalah ribuan orang yang berprofesi sebagai pelaku usaha di sekeliling pintu 1, 2, 3, dan seterusnya, yang semula ramai, kini menjadi sepi dan kehilangan mata pencaharian,” beber Puguh, menggambarkan dampak kebijakan terhadap berbagai sektor usaha di sekitar Borobudur.
Dalam audiensi tersebut, FMBB secara resmi menyampaikan tujuh tuntutan utama kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dengan harapan dapat segera ditindaklanjuti untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi:
- Pembukaan kembali penutupan pintu 1, 2, dan seterusnya di Candi Borobudur untuk pengunjung. Tujuannya adalah agar kawasan Ngaran 1 dan 2 di Jl. Medang Kamulan, Jl. Badrawati, Jl. Balaputradewa, dan sekitarnya dapat kembali hidup dan ramai dikunjungi wisatawan.
- Memberikan solusi atas tidak lakunya dagangan yang dijual oleh pedagang di Pasar Kujon. Kondisi ini telah menimbulkan pemiskinan, konflik antarpedagang, dan berbagai problem sosial lainnya. FMBB mengusulkan adanya dukungan, yang dapat berupa voucher pembelian yang diintegrasikan dengan penjualan tiket masuk ke Candi Borobudur.
- Menolak pembukaan restoran Prana Borobudur di zona 2. FMBB menilai restoran tersebut menjual makanan, souvenir, dan oleh-oleh yang sama dengan yang dijual oleh UMKM di Pasar Kujon, sehingga dianggap mengkhianati kesepakatan bersama dan semakin membuat Pasar Kujon sepi.
- Memenuhi hak pedagang sentra kerajinan dan makanan Borobudur (SKMB). Hingga saat ini, para pedagang SKMB belum mendapatkan kios yang layak untuk berdagang di kawasan Candi Borobudur.
- Menerapkan pembatasan pengunjung dengan jumlah di atas 10.000 orang per hari. FMBB menolak pembatasan pengunjung yang sangat ketat, yaitu hanya 1.200 orang per hari atau 150 orang per sesi, yang dinilai membuat kawasan Borobudur menjadi sepi dan berdampak pada perekonomian lokal.
- Mendukung revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pariwisata Nasional (RIPDN) dan Perpres Nomor 101 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Kompleks Candi Borobudur. FMBB berharap revisi ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal.
- Mendukung masyarakat lokal untuk berperan aktif sebagai pengelola candi. FMBB mengusulkan agar masyarakat sekitar Borobudur diberikan kesempatan dan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan kawasan wisata.
Menanggapi berbagai tuntutan yang disampaikan oleh FMBB, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, yang menerima audiensi tersebut, mengatakan bahwa pemerintah provinsi akan mengawal penyelesaian masalah ini secara bertahap.
“Tadi kita sudah memberikan mandat awal kepada TWC, TWB (Taman Wisata Borobudur), dan Pemerintah Kabupaten Magelang untuk menindaklanjuti beberapa poin tuntutan. Untuk poin ke-6 dan ke-7, kami masih akan menahannya terlebih dahulu untuk dikaji lebih lanjut. Sehingga, untuk poin 1, 2, 3, 4, dan 5, nanti TWC dan TWB akan mengurusi masalahnya, sedangkan poin ke-7 akan ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Magelang,” kata Sujarwanto usai audiensi.
Lebih lanjut, Sujarwanto menambahkan, “Nanti dari semua proses yang berjalan ini, kami dari Pemerintah Provinsi akan terus melakukan supervisi dan memonitor perkembangan penyelesaian masalah ini secara berkala.”
Audiensi antara FMBB dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini menunjukkan adanya upaya dari masyarakat lokal untuk terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan wisata Candi Borobudur yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi.
Diharapkan, dengan adanya dialog dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan demi kemajuan pariwisata Borobudur dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.