Tekno

Mengapa iPhone dan Produk Apple Lainnya Lebih Banyak Dirakit di China? Ini Alasannya

Jajaran iPhone 16, iPhone 16 Plus, iPhone 16 Pro, dan iPhone 16 Pro Max yang dipajang di Apple Store bandara internasional Changi Singapura. Foto: dok. Kompas.com

Jajaran iPhone 16, iPhone 16 Plus, iPhone 16 Pro, dan iPhone 16 Pro Max yang dipajang di Apple Store bandara internasional Changi Singapura. Foto: dok. Kompas.com

Jakarta, gradasigo — Apple, perusahaan teknologi raksasa yang berbasis di Cupertino, California, Amerika Serikat (AS), telah lama dikenal dengan produk-produk inovatifnya seperti iPhone, iPad, dan MacBook. Namun, tahukah Anda bahwa sebagian besar perangkat canggih ini tidak dirakit di Negeri Paman Sam, melainkan di negara lain?

Laporan terbaru dari Evercore ISI, yang dilansir oleh CNBC, mengungkapkan bahwa Apple sangat bergantung pada China untuk proses produksinya. Bahkan, sekitar 80 persen dari total produksi Apple berpusat di Tiongkok. Khusus untuk lini produk iPhone, ketergantungan ini lebih besar lagi, mencapai antara 85 hingga 90 persen dari keseluruhan produksi global.

Apple menjalin kemitraan dengan sejumlah perusahaan manufaktur besar, yang sebagian besar berbasis di Taiwan. Beberapa nama besar yang menjadi andalan Apple dalam merakit produknya adalah Foxconn, Pegatron, Wistron, dan Compal Electronics.

Perusahaan-perusahaan vendor ini memiliki berbagai fasilitas perakitan yang tersebar di beberapa negara, namun mayoritas di antaranya berlokasi di China. Selain itu, Apple juga memiliki sejumlah kecil fasilitas perakitan di Brasil dan India.

Salah satu mitra utama Apple, Foxconn, dikenal memiliki fasilitas perakitan produk Apple yang sangat besar di Kota Zhengzhou dan Shenzhen, China. Kedua kota ini bahkan sering dijuluki sebagai "Kota iPhone" karena skala produksinya yang masif.

Dilansir dari KompasTekno yang mengutip SCW Mag, fasilitas-fasilitas Foxconn ini mampu mempekerjakan ratusan ribu pekerja yang sangat terampil. Dengan jumlah tenaga kerja yang besar dan keahlian yang mumpuni, Foxconn mampu memproduksi jutaan unit perangkat Apple dalam waktu yang relatif singkat dengan standar kualitas yang sangat tinggi, bahkan diklaim lebih unggul dibandingkan dengan kemampuan perakitan di negara lain.

Lantas, apa sebenarnya yang membuat Apple begitu memilih China sebagai lokasi utama untuk merakit sebagian besar produknya?

Keputusan Apple untuk merakit produknya di luar Amerika Serikat bukanlah fenomena baru. Praktik ini telah berlangsung sejak era kepemimpinan Steve Jobs. Pendiri Apple yang visioner ini dikabarkan tidak yakin bahwa Amerika Serikat memiliki kapabilitas yang memadai untuk merakit iPhone dan produk-produk revolusioner Apple lainnya di dalam negeri.

Menurut pandangan beberapa ahli, termasuk Steve Jobs sendiri dan penerusnya, Tim Cook, salah satu alasan utama di balik keputusan ini adalah ketersediaan tenaga kerja. Amerika Serikat dinilai kekurangan jumlah pekerja dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung skala produksi massal produk-produk Apple.

Dalam buku biografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson, diceritakan bahwa Jobs pernah melakukan pertemuan dengan Presiden AS saat itu, Barack Obama, pada tahun 2010 dan 2011.

Dalam pertemuan tersebut, Jobs secara terbuka menyampaikan pandangannya bahwa Amerika Serikat kekurangan sekitar 30.000 teknisi terampil yang dibutuhkan untuk mendukung operasional pabrik-pabrik teknologi.

Sementara itu, di China, pada saat yang sama, Apple dapat mengandalkan hingga 700.000 pekerja terampil yang siap bekerja di pabrik.

"Anda tidak akan bisa menemukan sebanyak itu di Amerika untuk dipekerjakan," kata Jobs dalam buku tersebut, seperti yang dilansir dari The Verge pada Jumat (11/4/2025).

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh penerus Steve Jobs yang kini menjabat sebagai CEO Apple, Tim Cook. Dalam sebuah acara Fortune Magazine Global Forum pada tahun 2017, Cook secara tegas membantah anggapan bahwa alasan utama Apple memilih China sebagai basis produksi adalah karena upah tenaga kerja yang murah.

"China tidak lagi menjadi negara yang memberikan upah murah, itu sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Dan itu (upah murah) bukanlah alasan utama kami memilih China sebagai bagian penting dari rantai pasokan kami," kata Cook.

Lebih lanjut, Cook menjelaskan bahwa alasan sebenarnya adalah karena kombinasi antara keterampilan (skill) dan kuantitas (quantity) tenaga kerja yang tersedia di satu lokasi, serta jenis keterampilan spesifik yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi perangkat Apple.

Cook menambahkan bahwa kemampuan China dalam bidang manufaktur sangat canggih, terutama dalam hal precision tooling (pembuatan perkakas presisi), teknik perakitan yang rumit, dan penguasaan material tingkat tinggi. Kemampuan-kemampuan inilah yang menjadi tulang punggung dalam produksi iPhone dan produk Apple lainnya yang terkenal dengan kualitas dan desainnya yang detail.

Cook bahkan memberikan gambaran yang cukup mencolok untuk mengilustrasikan perbedaan ketersediaan tenaga ahli di bidang tooling antara Amerika Serikat dan China.

"Di AS, kita mungkin hanya bisa mengisi satu ruangan kecil dengan insinyur tooling. Di China? Kita bisa mengisi beberapa lapangan sepak bola," katanya.

Pernyataan ini dengan jelas menunjukkan bahwa ketergantungan Apple terhadap China bukan semata-mata persoalan biaya produksi yang lebih rendah, melainkan lebih kepada keberadaan ekosistem manufaktur yang sangat matang dan terintegrasi di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Ekosistem ini mencakup ketersediaan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar, rantai pasokan komponen yang efisien, serta infrastruktur pendukung manufaktur yang mapan, sesuatu yang tampaknya belum dapat ditiru oleh negara lain, termasuk Amerika Serikat.

Meskipun sangat bergantung pada China, Apple kini mulai menunjukkan langkah-langkah untuk melakukan diversifikasi fasilitas perakitannya. Perusahaan teknologi ini dilaporkan telah memperluas jangkauan produksinya ke negara-negara lain seperti India dan Vietnam.

Langkah ini kemungkinan diambil untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul akibat ketergantungan yang terlalu besar pada satu negara, terutama di tengah dinamika geopolitik dan perdagangan global yang terus berubah.

Meskipun demikian, fakta bahwa sebagian besar produksi iPhone dan produk Apple lainnya masih dirakit di China terus menjadi perhatian, terutama di Amerika Serikat. Mantan Presiden AS Donald Trump bahkan secara terbuka menyampaikan keinginannya agar Apple bersedia memindahkan fasilitas produksinya kembali ke "kampung halaman" mereka, yaitu Amerika Serikat.

Trump meyakini bahwa Apple memiliki kemampuan untuk memproduksi iPhone dan perangkat lainnya di Amerika. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Gedung Putih saat Trump menjabat, Karoline Leavitt.

Ia mengatakan bahwa Trump percaya bahwa Amerika Serikat memiliki tenaga kerja, sumber daya alam, dan kapasitas manufaktur yang cukup untuk memproduksi iPhone di dalam negeri.

"Dia (Presiden Trump) yakin bahwa kita (Amerika) memiliki tenaga kerja dan sumber daya untuk melakukan itu," kata Leavitt dalam sebuah konferensi pers.

Keinginan Trump ini disampaikan di tengah memanasnya perang tarif impor antara Amerika Serikat dan China. Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Trump memberlakukan berbagai tarif impor terhadap produk-produk dari China, termasuk produk teknologi.

Baru-baru ini, Trump bahkan mengumumkan kenaikan tarif impor dari China menjadi 125 persen dari sebelumnya 104 persen. Selain itu, Trump juga memberlakukan tarif impor terhadap lebih dari 70 negara mitra dagangnya, termasuk India, Vietnam, dan Indonesia.

Meskipun demikian, Trump sempat memberikan kelonggaran dengan menunda penerapan tarif impor selama 90 hari dan menurunkan tarif sebesar 10 persen untuk memberikan kesempatan bagi negara-negara tersebut untuk melakukan negosiasi perdagangan. Namun, kelonggaran ini tidak berlaku bagi China.

Tingginya tarif impor dari China tentu saja memberikan tekanan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan seperti Apple. Pasalnya, perusahaan yang berbasis di Cupertino, California, AS ini akan dibebani oleh biaya produksi yang naik secara signifikan jika mereka terus mengimpor sebagian besar produknya dari China.

Menanggapi situasi ini, Trump pernah menyatakan bahwa jika perusahaan seperti Apple tidak ingin membayar tarif impor yang tinggi, maka satu-satunya cara adalah dengan memindahkan fasilitas produksi mereka kembali ke Amerika Serikat. Dengan memproduksi di dalam negeri, Apple tidak perlu lagi khawatir dengan tarif impor dan justru dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi warga Amerika.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan Apple untuk merakit sebagian besar produknya di China bukanlah semata-mata didorong oleh faktor biaya produksi yang lebih murah.

Faktor utama yang menjadi pertimbangan Apple adalah ketersediaan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar, terutama di bidang manufaktur tingkat tinggi seperti precision tooling dan teknik perakitan yang rumit.

China telah berhasil membangun ekosistem manufaktur yang sangat matang dan sulit ditandingi oleh negara lain, termasuk Amerika Serikat.

Meskipun Apple mulai melakukan diversifikasi rantai pasokannya ke negara lain, ketergantungan mereka pada China untuk produksi massal produk-produk andalannya masih sangat besar.

Tekanan dari pemerintah AS untuk memindahkan produksi kembali ke dalam negeri menjadi tantangan tersendiri bagi Apple, yang harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk biaya, kualitas, dan ketersediaan tenaga kerja, dalam mengambil keputusan strategis di masa depan.

Related Post