Jakarta, Gradasigo - International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Jakarta, Selasa (15/7/2025), menghasilkan Risalah Ekoteologi. Dokumen ini menjadi seruan moral dan kontribusi spiritual Islam dalam merespons perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang kian mengancam masa depan bumi.
Risalah ini dibacakan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, di hadapan peserta jelang penutupan konferensi. Ia mengatakan, melestarikan lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab bersama umat manusia.
“Risalah ini mengingatkan kita bahwa menjaga bumi bukan hanya kewajiban etis, tetapi juga ibadah. Ini adalah amanah dari Allah Swt. yang harus kita tunaikan bersama,” ujar Arsad.
Enam butir Risalah Ekoteologi
Risalah Ekoteologi ICIEFE 2025 yang pertama adalah penekanan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW mengandung ajaran mendalam tentang etika lingkungan. Manusia diposisikan sebagai khalifah di bumi, bukan sebagai perusak. Prinsip keadilan ekologis, larangan fasad (kerusakan), serta teladan Nabi dalam memperlakukan air, tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi dasar moral utama dalam kesadaran ekologis Islam.
“Islam tidak pernah mengajarkan eksploitasi terhadap alam. Justru sebaliknya, kita diajarkan merawat dan menyeimbangkan kehidupan,” kata Arsad.
Kedua, peserta konferensi menyepakati pentingnya pengarusutamaan isu lingkungan dalam pendidikan Islam dan layanan keagamaan. Kurikulum di pesantren, madrasah, hingga perguruan tinggi Islam perlu secara sistematis mengintegrasikan nilai-nilai ekoteologi. Kegiatan dakwah, khotbah, dan pengajian juga diarahkan untuk menumbuhkan spiritualitas ekologis di tengah masyarakat.
Ketiga, konferensi merumuskan kerangka etika Islam sebagai kontribusi terhadap gerakan global keadilan iklim. Prinsip tawazun (keseimbangan), maslahah (kemaslahatan), dan ukhuwwah insaniyyah (solidaritas kemanusiaan) dianggap relevan untuk membangun kolaborasi lintas agama dan sektor.
“Dialog lintas iman adalah strategi teologis dalam merawat bumi sebagai rumah bersama, bukan milik satu kelompok,” jelasnya.
Keempat, risalah memberi perhatian pada kearifan lokal dan gerakan sosial berbasis Islam di Nusantara sebagai sumber inspirasi praksis ekologis. Tradisi pesantren hijau, komunitas Muslim pecinta lingkungan, dan praktik spiritual Islam yang ramah alam dianggap sebagai kekayaan budaya religius yang perlu didokumentasikan, direvitalisasi, dan diperluas.
Kelima, risalah menyerukan pentingnya pengarusutamaan ekoteologi dalam kebijakan publik. Pemerintah pusat dan daerah, tokoh agama, akademisi, komunitas, media, dan pelaku usaha diajak membentuk jejaring pentahelix untuk merumuskan regulasi, advokasi, dan aksi nyata yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.
“Peran anak muda sangat penting. Mereka adalah ujung tombak gerakan ekoteologi digital dan lintas sektor,” tutur Arsad.
Keenam, konferensi menekankan pentingnya perlindungan bagi para pegiat lingkungan dan pemangku kepentingan yang memperjuangkan keberlanjutan ekologi. Regulasi yang adil dan berpihak pada kelestarian harus ditegakkan dengan tegas dan beradab.
Selain pembacaan risalah, konferensi ini juga menampilkan makalah-makalah ilmiah yang membahas tafsir kontemporer, kritik ontologis, maq??id al-‘aq?id, kearifan pesantren, hingga artefak budaya Islam. Hal ini membuktikan bahwa ekoteologi tidak hanya menjadi wacana, melainkan dapat diarusutamakan sebagai paradigma baru dalam beragama.
“Dengan semangat Green Deen, kita diajak membumikan agama. Ini bukan sekadar tren hijau, tapi komitmen teologis menjaga bumi sebagai amanah suci,” pungkas Arsad.
Forum ICIEFE 2025 yang digelar pada 14–16 Juli 2025 itu menjadi penutup rangkaian kegiatan Peaceful Muharam 1447 Hijriah yang telah dimulai sejak 22 Juni 2025. Acara tersebut melibatkan unsur pemerintah, akademisi dalam dan luar negeri, masyarakat sipil, media, generasi muda dari pesantren, universitas, hingga komunitas lingkungan.
Dilansir dari laman kemenag.go.id