Sementara itu

Membedah Uniknya Dialek Jawa vs. Ngapak Banyumasan: Serupa Tapi Tak Sama

Inyong, Rika, Koe, Pean dan masih banyak lagi kosakata yang kalo diterjemahkan artinya sama. Foto : Ilustrasi

Inyong, Rika, Koe, Pean dan masih banyak lagi kosakata yang kalo diterjemahkan artinya sama. Foto : Ilustrasi

Banyumas, gradasigo - Bahasa Jawa dan Ngapak Banyumasan merupakan dua bentuk komunikasi yang sering disalahartikan sebagai satu kesatuan, padahal keduanya memiliki perbedaan yang menarik untuk dibahas. Meski berasal dari wilayah yang sama-sama berbahasa Jawa, dialek Jawa dan Ngapak Banyumasan memiliki karakteristik yang unik. Jika kita mendengar percakapan antara dua orang yang menggunakan bahasa Jawa standar dan dialek Ngapak, kita akan langsung bisa membedakan keduanya karena ada banyak aspek berbeda, mulai dari logat hingga kosakata.

Tagline yang sering kita dengar. Foto : Canva

Tagline yang sering kita dengar. Foto: Canva

1. Sejarah Dialek Jawa dan Ngapak Banyumasan

Bahasa Jawa sendiri memiliki banyak varian, tergantung dari daerah penggunaannya. Dialek yang umum dikenal sebagai "Jawa standar" biasa digunakan di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan sebagian Jawa Timur. Sementara itu, dialek Ngapak adalah bahasa sehari-hari yang digunakan di wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan daerah sekitarnya di bagian barat Jawa Tengah. Meski sama-sama berasal dari rumpun bahasa Jawa, Ngapak Banyumasan lebih dekat dengan bentuk asli bahasa Jawa kuno dibandingkan bahasa Jawa standar yang telah melalui berbagai evolusi.

2. Perbedaan Pengucapan dan Intonasi

Salah satu perbedaan paling mencolok antara dialek Jawa dan Ngapak Banyumasan adalah pengucapan dan intonasi. Dialek Jawa cenderung lebih halus dan lembut, sementara Ngapak Banyumasan terdengar lebih tegas dan keras. Contoh sederhana, kata "ora" yang berarti "tidak" dalam bahasa Jawa standar, diucapkan dengan lembut. Sedangkan dalam Ngapak, kata tersebut diucapkan dengan nada lebih tegas menjadi "ora" dengan intonasi yang lebih kuat.

Contoh lainnya adalah kata "pada" dalam bahasa Jawa standar yang berarti "sama", sedangkan dalam Ngapak diucapkan dengan "podo" dengan bunyi yang lebih keras pada huruf "d".

3. Kosakata yang Berbeda

Perbedaan lain yang menarik adalah dari sisi kosakata. Meski beberapa kata terdengar mirip, ada banyak kata dalam Ngapak yang berbeda sama sekali dari bahasa Jawa standar. Sebagai contoh, kata "kamu" dalam bahasa Jawa standar adalah "kowe", sedangkan dalam Ngapak disebut "kue". Kata "jalan" yang dalam bahasa Jawa standar adalah "mlaku" di Ngapak disebut "mlaku", tetapi intonasinya jauh lebih kuat.

Bahkan, beberapa ungkapan yang umum di dalam bahasa Jawa standar sama sekali tidak digunakan dalam dialek Ngapak. Ini membuat komunikasi antar pengguna kedua dialek ini kadang memerlukan penyesuaian agar kedua belah pihak dapat saling memahami.

4. Ciri Sosial dan Budaya yang Berbeda

Dialek tidak hanya soal bahasa, tetapi juga cerminan dari identitas budaya yang berbeda. Masyarakat pengguna dialek Ngapak sering kali merasa bangga dengan karakteristik dialek mereka yang dianggap lebih "kasar" atau "blak-blakan", karena hal ini dianggap mencerminkan kejujuran dan keterusterangan. Di sisi lain, bahasa Jawa standar sering diasosiasikan dengan sifat yang lebih halus dan penuh dengan unggah-ungguh atau tata krama yang lebih kompleks.

Di tengah-tengah perbedaan ini, dialek Ngapak tetap memiliki tempat tersendiri dalam budaya Banyumas, di mana penggunaannya tetap hidup dan bahkan menjadi kebanggaan masyarakat lokal. Sementara itu, bahasa Jawa standar tetap menjadi acuan dalam berbagai urusan resmi, terutama di wilayah kerajaan seperti Yogyakarta dan Surakarta.

5. Kesimpulan: Warisan Budaya yang Harus Dijaga

Meski terdapat perbedaan yang mencolok antara dialek Jawa dan Ngapak Banyumasan, keduanya merupakan bagian penting dari kekayaan budaya Jawa yang luas. Setiap dialek membawa identitas dan sejarahnya sendiri yang membuat bahasa tersebut unik dan penuh warna. Penting untuk menjaga keberagaman ini agar generasi mendatang tetap dapat memahami dan melestarikan warisan leluhur mereka.

Perbedaan yang ada tidak seharusnya memisahkan, melainkan memperkaya interaksi budaya dalam masyarakat Jawa secara keseluruhan. Dialek-dialek ini membuktikan bahwa bahasa terus berkembang dan beradaptasi sesuai dengan pengaruh lokal serta perubahan zaman.

Related Post